Langsung ke konten utama

Jakarta yang Malang

Jakarta memang keras. Dalam hiruk pikuk kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, terdapat banyak persoalan-persoalan kompleks yang konon membuat wajah siapa saja merengut bila mendengarnya. Kata “Jakarta” mungkin bisa pula dijadikan sebagai gambaran mengenai polusi, kolusi, dan bahkan caci maki.
Mengenai kriminalitas jangan ditanya. Hal itu seakan akan sudah menjadi icon bagi kota yang telah berumur hampir setengah milenium itu, mulai dari aksi rampok dan jambret hingga permainan kotor para penguasa.
Belum lagi masalah banjir yang sampai hari ini belum menemui titik terangnya, sekalipun sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Fakta bahwa daratan Jakarta tenggelam sekitar 17 cm tiap tahunnya menjadi momok yang kian menghantui warga.
Betapapun kacaunya permasalahan tersebut, kita tetap tidak bisa membantah keindahan Monas, kemegahan Istiqlal, dan Selalu ada hal-hal baik lainya yang dapat diceritakan dari Jakarta.
Jakarta memiliki nilai historis yang panjang dan sentral dalam pembentukan Negara Indonesia. Jalan Pegangsaan Timur No. 56 adalah saksi sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Adapula Jalan Menteng, tempat para tokoh-tokoh nasional bertempat tinggal. Belum lagi dengan pelabuhan Sunda kelapa yang sudah menjadi pusat kegiatan ekonomi Nusantara berabad-abad silam. Bahkan, Jakarta sejak dulu adalah tempat kerajaan-kerajaan berdaulat sebelum Indonesia berdiri.
Terlepas dari statusnya sebagai Ibukota, Jakarta adalah roh. Ia adalah jantung bagi Negara Indonesia yang telah mengecap pahit manisnya perjuangan mempertahankan kedaulatan Indonesia hingga hari ini. Ia adalah saksi bagi kebahagiaan, kesedihan, dan bahkan keserahan.
Maka, pencabutan statusnya sebagai ibukota secara tidak langsung akan menyebabkan bangsa Indonesia lupa akan sejarah negaranya sendiri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 Hari di SATI: Sebuah Catatan Refleksi

Sudah berbulan-bulan lalu saya berencana mengisi liburan semester ini dengan bervakansi ke satu kota kecil yang indah di Jawa Timur: Malang. Akan tetapi, karena alasan dana, rencana itu terpaksa saya urungkan. Malang barangkali bisa dijamah kapan-kapan, tapi soal perut harus selalu di-nomorsatu-kan, khususnya saya yang hidup merantau di Jogja. Namun, nasib yang katanya ‘sunyi’ itu berkata lain. Sebuah surat Term of Reference terlampir dalam satu surel ringkas dari dosen. Melalui surat itu, saya dimintai oleh dosen untuk mengikuti sebuah acara dengan tajuk Christianity Study for Moslem Scholars (selanjutnya disingkat CSMS) yang diadakan oleh Asosiasi Teolog Indonesia (ATI). Tak ada yang membuat saya tertarik untuk mengikuti acara ini-karena memang saya tidak terlalu mendalami kajian lintas iman-selain bahwa kegiatan studi ini diadakan di Malang dan akan didanai penuh. Benak saya: ini sebuah berkat, wayahe kalau kata orang Jawa. Dengan hati mantap dan menyala saya memutuskan ...

STIT kedepannya

Saya memimpikan STIT kedepannya lebih fokus terhadap pengembangan intelektual mahasiswanya. Mahasiswa dan dosen bahkan lebih baik terpisah dari kegiatan-kegiatan struktural di pesantren. Agar kegitannya lebih fokus dalam pengembangan keilmuan. Acap kali terjadi benturan antara jadwal perkuliahan dengan pekerjaan bagian yang menjadi dilema setiap mahasiswa STIT-RH terkhusus yang tinggal di dalam pondok. Sehingga ia mendapati tekanan dari dua sisi yang mau tidak mau harus ia hadapi. Ini membuat kegiatan belajar di kampus tidak maksimal. Begitu pula dengan keefektifannya dalam melaksanakan tugas-tugas bagian tersebut

Keangkuhan akan Kalah

Hukum adalah satu garis lurus. Ia selalu berada pada pacaknya. Tidak akan berpindah dari tempat yang ia berdiri di atasnya. Namun, akan selalu ada yang berusaha menggoyahkan kekokohan garis tersebut, untuk berbagai kepentingan. Hukum adalah satu objek abstrak, maka keobjektivannya akan kembali kepada subjeknya sendiri. Suatu ketika seorang wanita dari kalangan kaum bangsawan Arab Quraisy melakukan pencurian. Ia tertangkap dan oleh sebab itu harus diadili melalui jalan hukum Islam. Seorang pencuri telah mengotori tangannya dengan perbuatan keji di dunia. Maka untuk menghindarkan siksaan yang lebih pedih di hari pertimbangan kelak, ia harus dipisahkan dari tubuh si pencuri. Dengan itu ia dan orang-orang lain akan jera. Namun, manusia selalu memanfaatkan celah sesempit apapun untuk mempertahankan kehormatannya. Maka, oleh petinggi Bani Makhzum yang merupakan salah satu dari tiga kabilah terkaya Kaum Quraisy ingin melindungi wanita itu. “Ia adalah wanita bangsawan, tak sewajarnya bila h...