Langsung ke konten utama

Sekolah Bukan (hanya) untuk Menjadi Pintar

 


Nelson Mandela bilang “Education is the most powerful weapon we use to change the world.” Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Namun rangkaian kata indah nan bermakna tersebut tidak berlaku di Indonesia.  Atau malah bukan tidak berlaku, namun senjata tersebut yang sebenarnya belum efektif untuk mengubah Indonesia sendiri.

Sudah sejak tahun 2015 pemerintah Indonesia menjalankan program wajib belajar 12 tahun bagi seluruh rakyat Indonesia. Program tersebut terlihat  menjanjikan masa depan yang baru dan baik bagi Indonesia. Dimana saat tokoh-tokoh bangsa mencemaskan para rakyat yang sebagian besar masih belum mendapatkan pendidikan yang layak. Maka, program wajib belajar ini dapat memeratakan pendidikan rakyat di seluruh pelosok negeri.

Oleh karenanya, jika pendidikan tersebut dapat sepenuhnya terlaksana dan berjalan dengan baik, maka perlahan-lahan Indonesia akan bangkit dan dapat maju ke dalam kontestasi negara-negara superpower lainya. Karena tentunya, pendidikan merupakan pokok yang akan meningkatkan kehidupan manusia di berbagai lininya.

Tetapi ekspektasi tersebut hanyalah sebuah harapan belaka yang tak terwujudkan. Begitu banyak pesera didik yang telah menjalani program tersebut, tidak sepenuhnya menjadi manusia yang terdidik. 12 tahun merupakan waktu yang sudah sangat cukup untuk menjadikan seseorang memiliki ilmu yang mumpuni dan terdidik. Belum lagi ada yang menambah masa pendidikannya tersebut dengan melanjutkannnya ke jenjang perguruan tinggi. Namun, kualitas akhlak dan pribadinya hanya seperti itu-itu saja. Dan orang-orang seperti terlampau mudah untuk menemukannya di sekeliling kita.

Masalahnya, orang-orang Indonesia hanya menganggap masa persekolahan dan pendidikan adalah beban yang diwajibkan oleh pemerintah dan harus diselesaikan. Dunia persekolahan dan pendidikan hanya dianggap sebagai suatu periode dalam hidup. Ketika periode tersebut selesai, hilanglah semua hal yang ia pelajari dan ia terima dari sekolah tersebut. Sekolah hanyalah suatu masa penuh gelak tawa diantara kawan-kawan bagi mereka. Hanya sekedar pandai membaca dan hitung-saja hitung sudah cukup menurutnya. Dan yang terpenting adalah nilai-nilai yang tertera pada lembar-lembar Ijazah serta stempel dan tanda tangan yang tergurat pada surat-suat keterangan.

“Sudah salah niat dan tujuan” kata orang. Mereka tidak mengawali pendidikan dan pencarian ilmu tersebut dengan nawaitu lillahi ta’ala yang baik. Yang ada dalam benak adalah “mau jadi apa seusai sekolah?”, “Hendak kerja dimana setelah ini?”, “Bagaimana nantinya setelah lepas kuliah dapat kerja dan punya cuan yang banyak?”

Orientasi pendidikan yang sudah salah. Teramat salah malah. Pendidikan bagi mereka adalah hanya sebagai ajang menumpuk Ijazah untuk kemudian digadaikan sebagai syarat-syarat melamar pekerjaan. 12 tahun yang panjang, hanya terlewat sia-sia sebagai suatu periode dalam hidup yang dihiasi oleh gelak tawa dan kenakalan remaja. Kemudian, Ijazah sebagai tanda mata masa pendidikan mereka tersebut tidak berarti apa-apa lagi, kecuali hanya sebagai alat pelicin melamar kerja.

Padahal pendidikan sendiri menurut Albert Einstein adalah “sesuatu yang tersisa setelah seseorang melupakan apa yang ia pelajari di sekolah.” Sedangkan kata Imam al-Gazali “adalah proses memanusiakan manusia” dan yang tertera di dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003, tujuan pendidikan adalah agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat.

Artinya, inti dan tujuan dari pendidikan adalah bukan untuk membuat manusia menjadi seorang yang pintar. Bukan pula hanya untuk membuat seseorang menjadi pakar dalam suatu bidang tertentu. Namun, apa yang menjadi tujuan dan inti tersebut adalah hal yang lebih fundamental dalam kehidupan. Yaitu bagaimana agar seorang manusia bisa menjadi manusia sepenuhnya. Yaitu manusia yang berpribadi baik, memiliki akhlak mulia, spiritual keagamaan yang tinggi dan tentunya memiliki keterampilan atau keahlian dalam bidang tertentu yang diperlukan oleh dirinya sendiri dan rakyat. Pendidikan seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian khusus. Bukan serta-merta menjadi orang yang pintar namun punya pribadi yang lemah, berakhlak buruk dan ‘keok’ untuk terjun ke dalam masyarakat.

Maka, jika seseorang telah melupakan seluruh pelajaran-pelajaran yang ia dapat saat masih duduk di bangku sekolah dulu, pendidikan yang baik akan terus tertanam dalam dirinya. Ia akan tetap memiliki akhlak mulia, pribadi yang hebat, spiritualitas yang tinggi, serta sederet perangai-perangai baik lain yang ia dapatkan dari pendidikan tersebut. Dan ini merupkan tanda berhasilnya pendidikan bagi seseorang.

Agar menjadi pintar, adalah tujuan nomor ke-sekian puluh. Maka, jika kita lihat, di setiap sekolah rata-rata hanya memberikan penghargaan kepada 3 siswa dengan nilai terbaik tiap-tiap kelas. Tidak kepada setengah kelas atau seluruh siswa yang naik kelas. Namun,  Hanya kepada beberapa orang siswa saja. Hal itu disebabkan oleh karena kepintaran adalah potensi yang dimiliki oleh beberapa orang saja. Tiap-tiap orang memiliki tingkat potensi akademik yang berbeda.  Tidak semua orang di suatu kelas merupakan siswa yang pintar dan memiliki tingkat akademik yang sama. Tentunya ada yang paling pintar dan ada yang paling tidak pintar.

Namun, untuk menjadi seseorang yang berakhlak mulia adalah hak dan kewajiban yang harus didapatkan oleh seluruh peserta didik. Bagaimanapun nilai yang ia dapatkan dalam pelajaran saat menyelesaikan pendidikannya, seorang siswa haruslah memiliki akhlak yang baik, pribadi hebat, spiritualitas yang tinggi, dan lain-lain. Karena hal tersebut merupakan inti dan tujuan dari pendidikan.

Seorang siswa SMA bilang. “kalau kita belajar cuma mau pintar, Google lebih pintar dari sekolah. Semua ada di Google. Kalau guru sejarah ya sejarah saja. Kalau ditanya matematika, tanya saja dengan guru matematika. Namun, kelebihan guru adalah mereka memiliki rasa terhadap siswa, mereka mengajar, membentuk karakter kita, para siswa Indonesia.”

   Oleh karenanya, pendidikan yang oleh Pak Mandela disebut sebagai senjata, harus kembali diservis. Diisi ulang pelurunya untuk kemudian ditembakkan kepada target yang seharusnya dan sebenarnya. Yaitu untuk mengubah Indonesia. Setujukah madame dan monseur?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 Hari di SATI: Sebuah Catatan Refleksi

Sudah berbulan-bulan lalu saya berencana mengisi liburan semester ini dengan bervakansi ke satu kota kecil yang indah di Jawa Timur: Malang. Akan tetapi, karena alasan dana, rencana itu terpaksa saya urungkan. Malang barangkali bisa dijamah kapan-kapan, tapi soal perut harus selalu di-nomorsatu-kan, khususnya saya yang hidup merantau di Jogja. Namun, nasib yang katanya ‘sunyi’ itu berkata lain. Sebuah surat Term of Reference terlampir dalam satu surel ringkas dari dosen. Melalui surat itu, saya dimintai oleh dosen untuk mengikuti sebuah acara dengan tajuk Christianity Study for Moslem Scholars (selanjutnya disingkat CSMS) yang diadakan oleh Asosiasi Teolog Indonesia (ATI). Tak ada yang membuat saya tertarik untuk mengikuti acara ini-karena memang saya tidak terlalu mendalami kajian lintas iman-selain bahwa kegiatan studi ini diadakan di Malang dan akan didanai penuh. Benak saya: ini sebuah berkat, wayahe kalau kata orang Jawa. Dengan hati mantap dan menyala saya memutuskan

PANAS DINGIN IBNU ARABI

BIOGRAFI SINGKAT IBNU ARABI           Ibnu Arabi ( Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i)   merupakan seorang ulama dan sufi islam dalam bidang tasawuf. Ia lahir di Andalusia (sekarang adalah Spanyol) pada tanggal 11 Agustus 1165 namun adapula yang menyebutkan bahwa ia lahir pada tanggal  28 juli 1240 M.Ia memiliki pemikiran pemikiran yang kontroversial, sehingga kerap kali dihujat oleh ulama ulama lainya, bahkan ada yang memvonisnya bahwa ia adalah seorang kafir. walaupun begitu, tidak sedikit pula ulama yang membelanya karena ia dianggap telah mencapai puncak tertinggi hubungan hamba dengan Allah.     Selama hidupnya ia telah menulis banyak buku termasukdi bidang tasawwuf, antara lain adalah; Fushushul Hikam, Futuhat Almakkiyyah, Asrar umm Alquran, dan masih banyak lagi. abudurrahman Al Jami seorang ulama dan penyair mengatakan dalam bukunya nafahatul yawaqit wal jawahir bahwa ia telah menulis 500 buku. Diantara buku-bukunya ya