Sudah berbulan-bulan lalu saya berencana mengisi liburan semester ini dengan bervakansi ke satu kota kecil yang indah di Jawa Timur: Malang. Akan tetapi, karena alasan dana, rencana itu terpaksa saya urungkan. Malang barangkali bisa dijamah kapan-kapan, tapi soal perut harus selalu di-nomorsatu-kan, khususnya saya yang hidup merantau di Jogja. Namun, nasib yang katanya ‘sunyi’ itu berkata lain. Sebuah surat Term of Reference terlampir dalam satu surel ringkas dari dosen. Melalui surat itu, saya dimintai oleh dosen untuk mengikuti sebuah acara dengan tajuk Christianity Study for Moslem Scholars (selanjutnya disingkat CSMS) yang diadakan oleh Asosiasi Teolog Indonesia (ATI). Tak ada yang membuat saya tertarik untuk mengikuti acara ini-karena memang saya tidak terlalu mendalami kajian lintas iman-selain bahwa kegiatan studi ini diadakan di Malang dan akan didanai penuh. Benak saya: ini sebuah berkat, wayahe kalau kata orang Jawa. Dengan hati mantap dan menyala saya memutuskan
Jakarta memang keras. Dalam hiruk pikuk kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, terdapat banyak persoalan-persoalan kompleks yang konon membuat wajah siapa saja merengut bila mendengarnya. Kata “Jakarta” mungkin bisa pula dijadikan sebagai gambaran mengenai polusi, kolusi, dan bahkan caci maki. Mengenai kriminalitas jangan ditanya. Hal itu seakan akan sudah menjadi icon bagi kota yang telah berumur hampir setengah milenium itu, mulai dari aksi rampok dan jambret hingga permainan kotor para penguasa. Belum lagi masalah banjir yang sampai hari ini belum menemui titik terangnya, sekalipun sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Fakta bahwa daratan Jakarta tenggelam sekitar 17 cm tiap tahunnya menjadi momok yang kian menghantui warga. Betapapun kacaunya permasalahan tersebut, kita tetap tidak bisa membantah keindahan Monas, kemegahan Istiqlal, dan Selalu ada hal-hal baik lainya yang dapat diceritakan dari Jakarta. Jakarta memil