Langsung ke konten utama

6 Hari di SATI: Sebuah Catatan Refleksi


Sudah berbulan-bulan lalu saya berencana mengisi liburan semester ini dengan bervakansi ke satu kota kecil yang indah di Jawa Timur: Malang. Akan tetapi, karena alasan dana, rencana itu terpaksa saya urungkan. Malang barangkali bisa dijamah kapan-kapan, tapi soal perut harus selalu di-nomorsatu-kan, khususnya saya yang hidup merantau di Jogja.

Namun, nasib yang katanya ‘sunyi’ itu berkata lain. Sebuah surat Term of Reference terlampir dalam satu surel ringkas dari dosen. Melalui surat itu, saya dimintai oleh dosen untuk mengikuti sebuah acara dengan tajuk Christianity Study for Moslem Scholars (selanjutnya disingkat CSMS) yang diadakan oleh Asosiasi Teolog Indonesia (ATI).

Tak ada yang membuat saya tertarik untuk mengikuti acara ini-karena memang saya tidak terlalu mendalami kajian lintas iman-selain bahwa kegiatan studi ini diadakan di Malang dan akan didanai penuh. Benak saya: ini sebuah berkat, wayahe kalau kata orang Jawa. Dengan hati mantap dan menyala saya memutuskan untuk ikut.
...
Rabu malam, tanggal 31 Januari, Malang benar-benar berhasil Saya datangi. Kota ini begitu dingin dan sangat menyejukkan, tata kotanya rapi dan jalanannya baik. Penduduknya ramah dan harga makanan murah. Sangat seru untuk dijadikan tempat berkuliah.

Saya menjadi peserta pertama yang datang di tempat kegiatan yakni Sekolah Tinggi Teologi Satya Bhakti (STT SATI), pada malam hari yang sejuk pukul sebelas lewat seperempat. Untuk ukuran kota sebesar Malang, agak janggal melihat sebuah kampus yang sudah redup dan sunyi di malam hari yang baru pukul 11.

Sebuah perasaan yang tak jelas mulai mengisi pikiran dan hati saya. Karena memang belum ada informasi yang mengatakan bahwa peserta akan tidur sekamar dengan kawan-kawan Kristen di Asrama mahasiswa SATI. Saya kemudian mengetuk pintu kamar no. 11 dengan plakat kata “Pelaku Firman” yang tertempel di atasnya. Yitro, penghuni kamar itu mempersilahkan saya masuk dan menunjukkan tempat tidur bertingkat yang sangat nyaman.

Setelah percakapan kecil, saya lalu beristirahat sambil merasa kedinginan dan sedikit waswas. Maka, mulailah pergumulan batin dan pikiran selama 6 hari menimpa diri saya yang banyak bingungnya.
...
Mengenai kekristenan saya tidak tahu banyak. Saya sebelumnya memang tahu bahwa kekristenan pecah menjadi dua bagian besar, yakni Protestan dan Katolik. Akan tetapi fakta bahwa kekristenan baik Katolik dan Protestan memiliki beragam pembagian aliran yang sangat banyak sekali, membuat saya terkesiap dan sadar bahwa hampir seluruh apa yang saya tahu tentang kekristenan tidaklah valid.

Banyak sekali ordo dan denominasi (semacam sekte atau aliran dalam Kristen) yang memiliki pemahaman dan tata ritual keagamaan yang berbeda. Dan agaknya ini menjadi suatu tantangan bagi pemeluk agama Kristen sendiri.

Di samping itu, doktrin trinitas menjadi salah satu kajian utama dalam teologi Kristen. Saya melihat bahwa kawan-kawan kristiani sendiri pun pada dasarnya setuju bahwa konsep Tritunggal ini agak rumit dijelaskan. Akan tetapi, dalam hal inilah keimanan umat kristiani diuji. Arogansi akal manusia yang terbatas seolah-olah berambisi ingin menjawab segala hal, termasuk apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan tak jarang kemudian berbenturan dengan iman.

Namun, Tidaklah adil bagi saya untuk secara jumawa membedah agama Kristen dalam tulisan yang singkat ini. Saya masihlah sangat baru dalam hal ini dan hanya ingin mengutarakan pengalaman personal yang saya jalani selama belajar mengenai kekristen dengan orang-orang Kristen sendiri.

Yang Membuat Ibadah Kristen Menarik

Mengikuti kegiatan lintas iman adalah hal yang baru bagi saya. Apalagi untuk mempelajari salah satu agama selama 6 hari. Banyak asumsi-asumsi negatif yang terbangun dalam fikiran di awal mengikuti kegiatan ini. Hingga pada akhirnya, asumsi itu terbantahkan setelah secara serius mendalami ajaran kristiani melalui pemeluknya sendiri.

Hari pertama dalam kegiatan ini, kami mengikuti Chapel, semacam ibadah rutin umat kristiani. Chapel bagi saya adalah bentuk ibadah yang asyik. Karena, orang-orang Kristen dapat menyanyikan lagu-lagu secara khusyuk sambil mengutarakan perasaannya dalam nyanyian-nyanyian tersebut. Saya bahkan pada awalnya berfikiran bahwa ibadah orang Kristen tidak jauh berbeda dengan konser musik.

Ibadah umat kristiani tidak terlalu ketat. Cenderung bebas dan lebih mementingkan pengalaman spiritual dan ekspresi diri. Walhasil, mereka yang mengikuti ibadah ini dapat lebih mengekspresikan pergumulan kehidupannya dalam bentuk nyanyian.

Dalam benak saya terbesit semacam kritikan terhadap diri sendiri ketika melakukan ibadah: saya lebih terpaku dan terjebak dalam tata cara serta ritus semata. Dalam artian, ketika melaksanakan shalat misalnya, saya lebih mementingkan tata caranya yang benar, ketimbang mengurai pemaknaan dan pengalaman spritiual. Akibatnya, dimensi tafakkur dan perhubungan dengan tuhan menjadi hilang.

Di samping itu, peribadatan yang dilaksanakan secara berjamaah, membuat ibadah terasa makin khidmat dan khusyuk. Suara merdu yang dilantukan oleh para umat kristiani secara bersamaan, memenuhi sisi-sisi ruangan ibadah dan mendatangkan semacam suhu spiritual serta kedamaian yang agaknya sulit untuk dibahasakan. Saya sendiri dapat merasakan ketenangan itu, sekalipun tidak ikut menyanyikan lagu-lagu yang mereka lantunkan.

Kasih Tuhan yang Meliputi Semua

Dalam sebuah kunjungan ke salah satu Gereja Kristen beraliran Calvinis di Surabaya, Gereja Darmo Satelit, kami dipertemukan dengan seorang pendeta bernama Pdt. Andri. Kami disambut dengan sangat baik dan ramah serta disuguhkan makan siang bersama dengan para pendeta.

Dalam sela-sela makan siang itu, saya kemudian mengajukan sebuah pertanyaan mengenai konsep pembalasan dan neraka dalam ajaran Kristen. Kurang lebih seperti ini:
“Dalam agama Islam, banyak ayat-ayat di Alquran yang menjelaskan tentang hari pembalasan dan neraka. Jika melakukan suatu dosa, maka akan diberi balasan sesuai apa yang dikerjakan di dunia. Namun, dalam beberapa ibadah Kristen yang saya ikuti, khususnya ketika mendengar pendeta yang sedang memberikan khotbah, jarang sekali ada yang menyinggung tentang pembalasan, neraka, ataupun azab. Namun, saya lebih sering mendengar tentang kasih tuhan, pertobatan, dan pengampunan. Terlebih, ayat yang memuat kata ‘neraka’ sangat sedikit ditemukan di Alkitab. Lantas bagaimanakah sebenarnya konsep neraka dalam agama Kristen?”

Pendeta tersebut memberikan jawaban yang sekalipun tidak sepenuhnya menjawab keseluruhan pertanyaan saya, tetapi memberikan gambaran yang kafi dan agaknya filosofis. Kurang lebih begini: bayangkan bahwa Anda sedang dipeluk dengan erat oleh orang yang mencintai Anda dan Anda cintai. Pastinya Anda akan merasa nyaman dan bahagia. Lalu, bayangkan jika Anda didekap dengan erat oleh orang yang mencintai Anda namun Anda sendiri tidak mencintai orang tersebut. Apa yang akan Anda rasakan adalah muak, tidak bahagia, dan tersiksa. Kasus yang pertama adalah gambaran mengenai surga, sedangkan yang kedua adalah mengenai neraka.

Baik surga dan neraka pada dasarnya adalah bentuk cinta dan kasih dari Tuhan yang dikemas secara berbeda. Tuhan yang Maha Cinta mendekap dan memeluk kita. Manusia lah yang sering kali menggambarkan neraka dengan tidak konsisten sebagai suatu bentuk kebencian Tuhan kepada para hambanya yang berdosa.

Jawaban yang diberikan oleh pendeta tersebut memberikan satu insight baru bagi saya dalam memahami agama Kristen, khususnya pemaknaan cinta kasih Tuhan yang meliput seluruh semesta.

Tentang STT SATI dan Orang-orangnya

Tak ada yang lebih menarik dalam CSMS ini selain bahwa para peserta ditempatkan sekamar dengan mahasiswa/i Kristen yang berkuliah di STT SATI. Berinteraksi satu sama lain seperti saudara selama enam hari dengan teman-teman Kristen menjadi keseruan tersendiri. Para peserta dapat belajar langsung tentang kekristenan dengan live in bersama para calon pendeta dan teolog.

STT SATI sendiri adalah sebuah sekolah teologi Kristen yang beraliran Pantekosta. Kebanyakan mahasiswa SATI berasal dari Indonesia bagian Timur dan Sumatera Utara. Saya sendiri yang memiliki garis keturunan Batak Mandailing dapat membangun komunikasi dengan mudah karena banyak mahasiswa yang beretnis Batak.

Percampuran budaya sangat terlihat di sini. Jangan heran jika ada mahasiswa yang berwajah khas orang timur, tetapi berbicara dengan logat Batak.

Satu agenda yang bagi saya sangat menarik adalah Growing In Christ: berupa grup atau kelompok diskusi rutinan, di mana para mahasiswa saling mengutarakan perasaan hati dan pergumulan yang ia sedang hadapi bersama teman-teman seasramanya. Mereka akan saling berbagi cerita tentang apa yang sedang mereka hadapi, baik tentang permasalahan di masa lalu maupun kerisauan di masa datang. Iklim kekeluargaan di SATI terasa begitu hangat dan harmonis dalam kegiatan ini.

Sejenak, pikiran saya menyorot salah satu persoalan yang sedang marak terjadi belakangan ini, yaitu isu kesehatan mental. Kegiatan, Growing In Christ ini bisa menjadi jalan keluar atas permasalahan kesehatan mental yang sedang ramai-ramainya menjangkiti anak muda. Memang, terkadang permasalahan seberat apa pun bisa menjadi lebih ringan bila diceritakan kepada orang lain.

Suhu kekeluargaan seperti inilah yang agaknya menjadi alasan bagi Teo-salah seorang teman sekamar saya- dalam percakapan singkat mengatakan bahwa ia selalu merasa rindu dan ingin cepat-cepat kembali ke SATI saat sedang menjalani liburan akhir tahun.

Memperindah Perbedaan melalui Ke-salingpaham-an

Terima atau tidak, perihal Tuhan dan agama kita semua memiliki pertanyaan dan kebingungan yang sama. Kita selalu bertanya-tanya manakah agama yang benar dan bingung Tuhan mana yang patut kita sembah. Akan tetapi, lagi-lagi, di sinilah iman itu diuji. Apakah kita harus teguh dengan keimanan atau malah ngeyel menuruti arogansi akal kita yang terbatas dan seakan-akan ingin menjawab segala hal. Satu hal yang perlu kita percayai: Tuhan Maha Baik, Tuhan Maha Cinta.

Inilah kiranya permasalahan yang sedang kita hadapi dalam konteks keragaman di Indonesia: bagaimana menyikapi perbedaan keyakinan yang begitu banyak. Trauma masa lalu yang pernah menghantui umat beragama, khususnya konflik antara umat Islam dan Kristen Indonesia di awal abad 21, pelan-pelan perlu kita benahi. CSMS agaknya mengupayakan hal itu.

Dialog antar agama merupakan kunci utamanya. Hal ini dilakukan agar kita dapat memahami dan mempelajari agama lain secara langsung dari penganutnya, bukan berdasarkan asumsi-asumsi semata ataupun kata-kata orang lain. Bukankah tidak adil bila kita men-stigma suatu kelompok berdasarkan perkataan-perkataan orang lain yang bukan bagian dari mereka?

Jembatan ke-salingpahaman-an itu perlu kita bangun agar keragamaan-yang tak lain adalah anugerah-dapat sikapi dengan damai, suka cita dan bahagia.
...
Saat mengikuti Chapel terakhir di SATI, saya terharu mendengar satu nyanyian yang bagi saya sangatlah indah. Sudah lama saya tidak beribadah sambil menangis, dan lagu berjudul Ku Tetap Cinta, Ku Tetap Setia itu berhasil membuat saya menitikkan air mata. Dalam nadanya yang begitu syahdu dan liriknya yang sangat dalam, berbagai perasaan yang tak tentu memenuhi hati saya. Rasa bingung, sedih, marah, haru dan rindu berpadu menjadi satu.

Terlalu banyak yang Tuhan t’lah beri
Takkan mungkin ku balas dari
Apa yang kumiliki
Kupersembahkan seluruh hidupku
Dan ku tetap cinta
Biar ku tetap setia untuk s’lama-lamanya

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca; Anugerah Besar dari Allah

Membaca ialah suatu anugerah besar yang Allah Subhanahu wa taala berikan terhadap manusia. Dengannya manusia dapat meneguk mata air ilmu yang kemudian dapat ia gunakan untuk menjalani hidup di dunia serta merasakan kebahagiaan. Membaca adalah bentuk kecintaan terbesar seseorang terhadap ilmu. Seorang yang suka membaca pastinya memiliki rasa cinta yang amat besar terhadap ilmu. Hari-harinya akan dihabiskan untuk melahap lembar halaman pada buku. Hal itu ia lakukan agar dapat memuaskan dahaganya akan ilmu yang teramat sangat. Membaca adalah jalan untuk dapat melihat dunia dari sisi yang berbeda. Ada berjuta juta macam pengetahuan di dunia. Semua itu dapat kita ketahui dengan membaca. Milyaran ilmu yang telah dituangkan ke dalam lembaran buku-buku dari sejak dulu kala hingga sekarang memiliki pengaruh besar dalam membentuk peradaban manusia yang lebih baik. Kita akan dapat memandang sesuatu melalui sisi-sisi yang berbeda dan kemudian mengantarkan kita ke kesimpulan yang kita b

STIT kedepannya

Saya memimpikan STIT kedepannya lebih fokus terhadap pengembangan intelektual mahasiswanya. Mahasiswa dan dosen bahkan lebih baik terpisah dari kegiatan-kegiatan struktural di pesantren. Agar kegitannya lebih fokus dalam pengembangan keilmuan. Acap kali terjadi benturan antara jadwal perkuliahan dengan pekerjaan bagian yang menjadi dilema setiap mahasiswa STIT-RH terkhusus yang tinggal di dalam pondok. Sehingga ia mendapati tekanan dari dua sisi yang mau tidak mau harus ia hadapi. Ini membuat kegiatan belajar di kampus tidak maksimal. Begitu pula dengan keefektifannya dalam melaksanakan tugas-tugas bagian tersebut